KEKUATAN DAN KERAPUHAN MAHASISWA DI BALIK BAYANGAN TEMBOK-TEMBOK KAMPUS

    Di balik kehidupan kampus yang sering dianggap bebas dan sangat menyenangkan, mahasiswa dihadapkan pada realita yang penuh tekanan. Tak hanya dari tuntutan akademik, tetapi juga dari tekanan dosen yang secara tidak langsung mengendalikan perjalanan mereka. Tugas bertumpuk, projek yang tidak sesuai mata kuliah, tenggat waktu yang seakan tak pernah memberi jeda, hingga kritik pedas yang kerap dilontarkan di semua mahasiswa, dan ini dianggap sebagai bagian dari suatu latihan bagi mahasiswa untuk membentuk diri mereka menghadapi dunia kerja yang akan datang. Namun, apakah tekanan ini memang perlu, atau justru melukai mental dan motivasi mahasiswa secara mendalam?.

    Bayangkan, ketika mahasiswa dipaksa berlari di atas treadmill akademik yang bergerak semakin cepat, dan seringkali tanpa arah atau dukungan yang jelas. Di satu sisi, tekanan dari dosen sering disebut sebagai cara mendidik ketangguhan mahasiswanya. Mereka diharapkan mampu mengatasi berbagai hambatan, menekan stres mereka sendiri, dan berjuang melawan waktu untuk mencapai hasil yang sempurna. Namun, apa yang sering kali terlupakan adalah bahwa manusia, termasuk mahasiswa, bukanlah mesin yang bisa terus dipaksa bekerja tanpa jeda. Setiap individu memiliki batas toleransi yang berbeda, dan ketika tekanan dari dosen melampaui batas tersebut, yang muncul bukanlah ketangguhan, melainkan kelelahan mental yang bisa berdampak seumur hidup mereka. Sedikit cerita tentang pengalaman ketika saya masih semester dua di salah satu mata kuliah, sebut saja sd dengan dosennya bt di mana beliau memberikan suatu projek yang di luar mata kuliah beliau, di situ saya sangat merasakan tekanan baik dari dosen maupun teman kelompok saya yang hanya bisa menuntut dan menuntut.

    Dosen sering menjadi sosok otoritatif yang menentukan nasib akademik mahasiswa. Mereka bebas memberikan tugas tanpa batas, dengan alasan untuk mengasah keterampilan manajemen waktu dan ketahanan stres. Namun, di balik ekspektasi tersebut, banyak mahasiswa yang tenggelam dalam kecemasan tanpa panduan yang jelas. Alih-alih merasa tertantang, mereka justru terjebak dalam ketakutan untuk gagal. Ketika tugas-tugas sulit datang bertubi-tubi tanpa arahan yang memadai, mahasiswa dipaksa menebak-nebak standar yang diharapkan oleh dosen. Dan, lebih dari itu, tidak sedikit dosen yang mengabaikan dampak emosional dari kritik yang mereka lontarkan. Kata-kata tajam yang dilontarkan tanpa empati tidak hanya merusak kepercayaan diri mahasiswa tetapi juga menghancurkan rasa ingin tahu dan semangat mereka dalam proses belajar.

    Tekanan ini bahkan menciptakan lingkungan yang kompetitif secara tidak sehat. Ketika dosen menetapkan standar prestasi tinggi yang hanya bisa dicapai oleh sedikit mahasiswa, suasana persaingan antar teman pun muncul mulai muncul. Bukan lagi saling mendukung, bahkan mahasiswa mulai melihat teman sekelas mereka sebagai pesaing yang harus dia kalahkan. Dalam situasi ini, solidaritas dan kerjasama yang seharusnya menjadi fondasi pendidikan berubah menjadi ajang kompetisi yang beracun dan mematikan seperti tikus, jika tikus itu kekurangan makanan ataupun bahkan stres, tikus dapat memakan tikus lainnya termasuk juga anaknya sendiri. Bayangkan, di usia yang seharusnya menjadi masa terbaik untuk belajar dan menemukan jati diri, mahasiswa justru merasa terisolasi, terbebani, dan kehilangan tujuan. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka kita tidak sedang membangun generasi yang kuat, melainkan melahirkan individu yang terjebak dalam kecemasan sosial dan keraguan dirinya.

    Ironisnya, dunia kerja yang keras yang konon ingin dipersiapkan oleh pendidikan justru semakin mengutamakan keseimbangan hidup dan kesehatan mental karyawannya. Banyak perusahaan mulai menyadari pentingnya kesehatan mental sebagai bagian dari produktivitas jangka panjang. Sementara di kampus, mahasiswa masih didorong untuk bertahan dalam sistem yang usang, yang seolah tak peduli pada kesejahteraan mereka. Ketika dunia di luar sana sudah mulai merangkul pendekatan yang lebih manusiawi, perguruan tinggi seolah-olah masih terpaku pada metode lama yang menekankan hasil dari pada proses. Mengapa kita terus mempertahankan sistem yang telah terbukti merugikan kesehatan mental mahasiswa? Apakah kita hanya peduli pada lulusan tangguh dalam teori, tanpa peduli bagaimana kesejahteraan mereka setelah lulus?.

    Kritik pedas dan ekspektasi yang tinggi dari dosen, tanpa disertai empati, ibarat bom waktu bagi kesehatan mental mahasiswa. Dosen perlu menyadari bahwa tidak semua mahasiswa memiliki kondisi yang sama. Ada yang harus bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan, ada yang berjuang dengan tekanan keluarga, dan ada pula yang menghadapi masalah kesehatan mental yang tak tampak dari luar. Jika tekanan hanya diberikan tanpa dukungan, yang ada adalah lingkaran kecemasan terus-menerus yang menggerus semangat mereka. Pendidikan harusnya tidak hanya membentuk ketangguhan akademik, tetapi juga memperhatikan perkembangan pribadi mahasiswa sebagai manusia yang utuh. Jika kita terus memaksakan tekanan tanpa batas, kita mungkin saja akan menghasilkan lulusan yang tangguh di atas kertas, tetapi rapuh di kehidupan nyata.

    Perguruan tinggi seharusnya mampu memberikan dukungan yang lebih dari sekadar tuntutan akademik. Mahasiswa butuh ruang untuk belajar, berkembang, dan mengekspresikan diri tanpa rasa takut. Mereka memerlukan sosok dosen yang bisa memberi panduan, bukan hanya tugas tanpa batas. Karena pada akhirnya, mahasiswa yang sehat secara mental dan emosional adalah mereka yang mampu menghadapi dunia dengan perspektif yang luas, dengan semangat yang tak pernah padam, dan dengan kepercayaan diri yang tulus, bukan karena terpaksa bertahan hidup dalam suatu tekanan. Jika pendidikan tidak berubah, kita akan terus memproduksi generasi yang penuh kegelisahan, dan itu adalah kegagalan terbesar bagi sebuah institusi yang seharusnya menginspirasi kita semua.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERTAYAAN DI KELAS : TANTANGAN ATAU BEBAN BAGI MAHASISWA

HIDUP MERUPAKAN KOMPETISI TIADA HENTI